BREAKING NEWS

Jimly Asshiddiqie: Tiga Pejabat yang Berwenang Bisa Batalkan Perpol 10/2025


DETAK NUSANTARA | JAKARTA — Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa pembatalan atau penetapan tidak sah terhadap Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tidak dapat dilakukan secara sembarangan. 

Menurutnya, kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh tiga pejabat atau lembaga yang telah diatur dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Jimly merespons polemik Perpol 10/2025 yang dipersoalkan publik karena dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. 

Meski menuai perdebatan, Jimly menekankan bahwa setiap peraturan tetap harus dihormati sepanjang belum dibatalkan melalui mekanisme resmi.

Dia kemudian menguraikan pihak pertama yang berwenang menyatakan Perpol tersebut tidak sah, yakni institusi Polri sendiri sebagai pembentuk peraturan. 

Menurutnya, Polri memiliki ruang untuk melakukan evaluasi internal terhadap regulasi yang diterbitkan.

“Kan bisa Polri akan melihat, evaluasi, ya sudah, cabut ini, misal itu. Tapi ini kan tidak bisa dipaksa. Orang dia yang meneken,” kata Jimly di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, seperti dikutip pada Jumat, 19 Desember 2025. 

Pejabat kedua yang memiliki kewenangan adalah Mahkamah Agung (MA). Jimly menjelaskan, MA dapat melakukan uji materiil atau judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi.

“Kalau ada yang mengatakan ini perpol bertentangan dengan undang-undang, itu bawa ke Mahkamah Agung. Mau nyari kesalahan, gampang, apa contohnya? Lihat pertimbangan menimbang dan mengingatnya, itu ada yang tidak tepat. Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK,” jelasnya.

Jimly menambahkan, pada bagian mengingat dalam Perpol 10/2025 juga tidak ditemukan rujukan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dipersoalkan.

“Mengingatnya pun tidak sama sekali menyebut putusan MK. Maka, mengingat Undang-Undang Polisi Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi diatur lembar negara nomor sekian ditambah nomor sekian,” lanjut Jimly.

Oleh sebab itu, menurutnya, rujukan utama Perpol 10/2025 masih mengacu pada undang-undang yang belum secara eksplisit disesuaikan dengan putusan MK.

“Maka ada orang menuduh oh ini bertentangan dengan putusan MK. Ya eksplisit memang begitu, mengingatnya enggak ada. Atinya, putusan MK yang mengubah undang-undang enggak dijadikan rujukan,” papar Jimly.

Pejabat ketiga yang dinilai memiliki kewenangan membatalkan atau mengubah Perpol tersebut adalah Presiden.

“Nah ini pejabat ketiga boleh, yaitu presiden. Pejabat atasan punya kewenangan menerbitkan Perpres atau PP yang PP itu, misalnya itu mengubah materi aturan yang ada di Perpol, itu boleh. Nah itu lebih praktis. Itu pilihannya,” pungkas Jimly. (*)
Posting Komentar